Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Fort de Kock (kini Bukittinggi), Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Latar dan pendidikan
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau,
Sumatera
Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Fort de Kock
dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya
ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah
lulus ujian masuk ke HBS
(setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar
tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta
melanjutkan studi ke MULO
di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang
"Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat
baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam,
Belanda
untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa
inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di
Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa
Perjuangan
Saat berusia
15 tahun, Hatta merintis
karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen
Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai
menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja
koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran
politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah
atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi
idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. "Aku kagum melihat cara Abdul
Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona
oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang
begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat," aku Hatta dalam
Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia
Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke
Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai
aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera,
"Namaku Hindania!" begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik
dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati
suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya.
"Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku
daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku," rutuk Hatta lewat
Hindania.
Pemuda Hatta
makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan
tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan
Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka
bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan
ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan
suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama
Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada
persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai
hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam
Memoir-nya.
Selama
menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta
berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden.
Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi
peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang
dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis
menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu
menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Perangko
Satu Abad Bung Hatta diterbitkan oleh PT Pos Indonesia tahun 2002
Hatta mulai
menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam
Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim
pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang
berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air.
Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga
tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto
Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka
lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena
Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah
Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan
“Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para
pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula
tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische
Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan
kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar
belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah
mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara
politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua
berasal.
Hatta
mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi,
sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika
terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo
diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting
bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk
mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan
kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan
nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang
anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai
membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta
bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan
di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta
ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan
pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta
kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan
Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat
Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta,
bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional
Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta
diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6
tahun.
Pada tahun 1945, Hatta
secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung
karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka
keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Kesimpulan
Bung hatta adalah tokoh
politik yang sangat berperan dalam kehidupan politik di Indonesia, dia adalah
wakil pertama presiden Indonesia. Bung Hatta sendiri dari sejak umur 13 tahun
dia sudah bergabung dengan berbagai organisasi, sehingga diapun terpaut jiwanya
utuk ikut dalam masalah politik di negeri ini.