God With The Real Adventurer.....

EKSPEDISI 2012

Senin, 08 Oktober 2012

Budaya Seba

         Budaya seba adalah budaya yang biasa di lakukan oleh masyarakat sunda khususnya di daerah garu, tentunya di desa Ciburuy.

Ada 3 rumah adat di sana, yaitu Bumi Padaleman, Bumi Patamon dan Lumbung Padi (Leuit). Bumi padaleman menyimpan benda-benda berupa naskah kuno daun lontar dan nipah. Sedangkan Bumi Patamon menyimpan benda-benda yang berupa senjata tajam seperti keris, kujang, trisula dan alat kesenian yaitu Goong Renteng yang menjadi cikal bakal kesenian degung sekarang. Benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala di situs Kabuyutan Ciburuy
(rumah padaleman)
(leuit)
(sebelah kiri: bumi patamon)

   Masyarakat sekitar rutin mengadakan upacara Seba Ciburuy yaitu Ritual tahunan yang diadakan  sebagai tanda penghargaan kepada para leluhur, sekaligus upaya melestarikan  peninggalannya. Bagi masyarakat setempat, membuka dan mengeluarkan benda-benda pusaka dari tempatnya bukan pekerjaan sembarangan. Melainkan harus dilakukan pada waktu tertentu, sebagaimana selalu dipraktekkan para leluhurnya. Upacara Seba sendiri mengambil waktu hari Rabu terakhir di bulan Muharam. Atau bulan pertama pada hitungan tahun hijriah. Rangkaian upacara Seba antara lain melakukan pembersihan rumah adat, sebelum hari “H” berlangsung.
            Saat upacara Seba berlangsung, kuncen Kabuyutan Ciburuy selalu mengeluarkan mantra-mantra. Konon, saat mengucapkan itu, sang kuncen diyakini tengah dirasuki arwah leluhur. Mantra-mantra itulah yang selalu dinantikan oleh para pengunjung, karena merupakan ramalan kehidupan di masa yang akan datang. Dengan mendengar mantra-mantra itu, dipercaya seseorang akan mendapat keberkahan. Pada upacara seba yang berarti “babaktos” diawali dengan kegiatan “kikis” yang dilakukan pada rabu pertama dan kedua bulan muharam. Kegiatanya mengganti pagar bambu yang mengelilingi situs dengan pagar bamboo yang baru, yang dilanjutkan dengan upacara puncak tali kikis.
            Pada rabu ke tiga, diadakan pasang kikis dan kemudian hajatan di rabu keempat. Ada ciri khas makanan yang suguhkan yang tidak boleh ditinggalkan oleh masyarakat sekitar pada hajatan in, yaitu tiga macam pangan dari ketan putih seperti ulen, wajit, dan ladu. Selain itu, manik tumpeng (tumpeng bodas),anclak, dan pamarab (babawaan hasil panen). Puncak ritual dalam Seba Ciburuy ini yaitu ritual yang disebut “nyalikeun atau samawur”.  Yang dilanjutkan dengan penyiraman barang – barang peninggalan dengan menggunakan air kembang dan minyak.  Proses ini dilakukan oleh juru kunci yang merangkap sebagai tokoh adat, bersama tokoh masyarakat. Sang juru kunci, Ujang Nana Suryana mengatakan, Situs Ciburuy memang tidak cocok dijadikan objek sapta pesona, namun tempat orang yang berniat untuk berziarah. Jika pada musimnya tidak kurang dari 300 orang memadati situs ini untuk melakukan ziarah. Sedikitnya ada empat nama karuhun di situs ini, diantaranya, Eyang Haji Wali Mustofa, Sembah Dalem Kaputihan, Eyang Kalijaga, dan Eyang Tunjang.
            Ritual Seba Ciburuy, adalah bagian dari kearifan masyarakat sunda yang masih terpelihara dan sarat makna, sayang nampaknya Pemerintah Daerah Kabupaten Garut kurang memperhatikan keberadaannya, sehingga acara ini hanya terkesan seremonial dan rutinitas belaka, padahal dari sini kita bisa belajar banyak tentang kehidupan. Di kawasan Situs Ciburuy juga terdapat larangan berupa pantangan dimana setiap hari jumat dan hari sabtu tidak boleh seorangpun memasuki kawasan Situs Ciburuy.
            Di  sekitar Kampung Ciburuy pun kami banyak menjumpai anak-anak albino, yang konon katanya pada jaman dahulu kala saat perjalanan pulang dari Gunung Cikuray, Prabu Kian Santang menemukan sepasang Buruy (Kecebong) berwarna hitam dan putih, lalu beliau mengawinkan kedua Buruy tersebut. Dan menurut kepercayaan masyarakat sekitar bahwa anak albino tersebut lahir dari jelmaan kecebong yang berwarna putih dan hitam.

(tempat shalat para leluhur)

(anak Albino)
(saya bersama keluarga kuncen (sebelah kiri))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar